Aku masih di sini. Bersama dengan Rania di sudut kantin sekolah. Tampak sekali sekitar kami sudah sepi. Yang memastikan bahwa hampir semua siswa SMA Pramudya Aksara sudah pulang ke rumah.
“Aku tak bisa, Dai.”
Itu adalah ucapan Rania yang sudah dikatakannya lebih dari lima kali sepanjang kami berbincang sejak bel pulang berbunyi tadi.
Kenapa? aku membatin.
“Kenapa?” aku bertanya hati-hati.
Kuamati lagi gadis yang duduk gelisah di hadapanku ini. Tak mengerti dengan jalan pikirannya yang selalu berbelit-belit.
Apa sebenarnya dasar logis yang dimiliki Rania sehingga ia menolak kedatangan cinta yang sudah lama diharapkannya?
“Aku tahu kamu sangat mencintainya, Rania. Terlampau mencintai, malah. Jadi apa alasannya kamu menolaknya? dia sudah datang untukmu!”
Hampir-hampir saja aku tak bisa menahan amarahku. Syukurlah ada angin yang berhembus melewati kami dan membuat kekesalanku sedikit berkurang..
Duh.. Rania sungguh keras kepala! umpatku dalam diam.
“Aku… Aku tak bisa, Dai.. Dan kamu tahu sebabnya kenapa.”
Ah… Aku terhenyak ketika kudapati buliran kristal cair itu luruh dari kedua mata Rania.
Ia menangis…
Habis sudah keberanianku untuk mendesak Rania yang keras kepala. Aku pun menunduk memandangi es kelapa di gelas Rania yang tinggal setengahnya. Memikirkan apa
yang seharusnya kuucapkan lagi agar Rania merasa lebih baik.
Rania mungkin saja benar. Dengan mengatakan bahwa aku tahu sebab dari pilihannya itu. Kenapa ia menolak kedatangan Bri dan malah memilih untuk menjauh darinya. Kukira sebabnya adalah karena Rania merasa ia tak berhak untuk memiliki kebersamaan dengan Bri..
Bri sudah memiliki Syifa. Dan Rania tak ingin merusak keharmonisan Bri dan keluarga barunya.. Dan lagi,, ada neneknya yang tinggal seorang diri di rumah mendiang ayahnya.
Bagaimana mungkin Rania tega meninggalkannya sendiri? Akhirnya, Rania pun memilih menolak permintaan Bri yang mengajaknya tinggal bersama. Aku tahu, Rania mencoba untuk mengalah (lagi). tapi tetap saja…
“Dai,, aku tak apa-apa. Aku akan baik-baik saja.”
Rania tersenyum lemah. Mendengarnya berkata begitu, masih tak cukup meyakinkan diriku bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Aku tahu hatinya pasti sedih sekali. Tapi apa
yang bisa kulakukan lagi untuknya? aku hanya sahabat yang hanya bisa mendengarkan. Tak bisa lebih dari itu!
Akhirnya aku pasrah. Biarlah Rania dengan keputusannya itu. Hanya saja kuharap, ia bisa kembali ceria seperti Rania yang kukenal dulu.
^_^
“Rania…”
Aku terkejut ketika mendapati Bri yang tengah berjalan ke arah kami. Rania spontan menoleh ke belakang. Butuh beberapa detik untuknya sebelum ia bisa menyahut panggilan Bri kepadanya.
“Ibu…”
Bri tersenyum lembut mendengar suara Rania. Sedikit ayunan angin di jilbab putihnya membuat Bri tampak cantik sekali. Sementara di sampingnya, Syifa berjalan perlahan mengikuti Bri dan menatapku.
Aku diam. Tiba-tiba saja merasa tak pantas berada di sini. Tapi aku tak bisa kemanamana dikarenakan Rania tadi segera memegang ku erat-erat. Akhirnya kuputuskan untuk
diam saja.
“Pulanglah bersama ibu, nak. ayo.”
Rania tampak akan menangis lagi. Kali itu, Bri sudah duduk di sampingnya. Tangan kirinya masih memegang tangan Syifa agar tak pergi kemana-mana. Dan Syifa masih menatapku penasaran. Aku masih tetap memilih diam.
“Rania pulang ke rumah nenek saja, bu.. Tak apa-apa.”
Bri tersenyum sebentar sebelum akhirnya kembali bicara,
“Maafkan ibu, Nia. Maafkan ibu karena sudah meninggalkanmu bersama ayah. Maafkan ibu karena lebih memilih islam dibandingkan kalian, keluarga yang juga sangat ibu cintai. …” Bri
berhenti berucap. Terlihat matanya mulai memanas dan berkaca-kaca. Lalu, lanjutnya lagi..
“Tapi… ibu tak pernah menyesal dengan keputusan ibu lima tahun lalu itu, nak.. Yang ibu sesalkan adalah ibu tak bisa membawamu serta bersama ibu. Saat itu ayah tak mengizinkan
ibu untuk membawamu.. Ia tak mau kamu meninggalkan cinta kepada Yesus.. Dan ibu tak
berdaya…”
Rania tak bisa menahan buliran air matanya. Ia menatap Bri dengan pandangan penuh cinta. Ia tahu pasti bagaimana kesusahan yang dialami ibunya ketika dulu memilih berpisah
dari ayahnya. Ibunya jatuh cinta kepada Islam. Yang akhirnya membuat pernikahan mereka harus diakhiri. Meski mereka masih sama-sama mencintai..
“Tapi kini..” lanjut Bri berkata.
“Kini ayah sudah meninggal. Kamu bisa ikut dengan ibu, Nia.. Kita kembali bersama sebagai satu keluarga. Meski…” Bri melirik sekilas ke arah Syifa. Balita empat tahun itu tampak asyik melihatku. Dan ini membuatku sedikit jengah.
” …Meski kini ibu sudah memiliki keluarga baru. Tapi ibu tetap mencintaimu, Rania..
Tinggallah dengan ibu.. ibu mohon…”
Bri pun tampak tak lagi bisa menahan airmatanya. Ibu dan anak itu saling menatap dengan tangisan di pipinya. Saling memandang. Mengharapkan satu sama lain untuk saling
memiliki.
Sementara aku?
Hampir saja aku menangis. Tapi tidak! Aku tak bisa menangis… Aku masih bergumul dalam haru dan kediamanku saat ini.
“Ibu…” Rania akhirnya berucap juga.
“Rania sudah memaafkan ibu. Rania mengerti dengan pilihan ibu. Rania pun sangat mencintai ibu. Tapi…” Rania diam sejenak. “…Rania harus bersama nenek. kasihan nenek. ia hanya tinggal seorang diri.”
‘Hancur’ mungkin adalah kata yang tepat untuk menjelaskan hati Bri saat mendengar penuturan Rania itu. Sedikit banyaknya aku tahu, Bri berharap Rania, puterinya mau ikut tinggal bersamanya dan juga mau menerima Islam seperti dirinya.. Tapi apalah daya. Rania sudah sangat keras kepala (meneguhkan hatinya) untuk mengambil pilihan ini.
Saat itu, Syifa masih menatapku penasaran. Tapi aku mengacuhkannya.
“Baiklah… Ibu mau menerima keputusanmu, nak.. Tapi ibu sangat berharap Nia kelak bisa
tinggal bersama ibu.”
Rania melihat mendung dan kecewa itu di mata Bri. Kami sama-sama melihatnya. Aku tahu, Rania pasti merasa sangat bersedih juga dengan keputusannya ini. Sehingga sejenak kemudian, dalam tempo yang cukup lambat, ia kembali berkata.
“Meski Nia tidak tinggal bersama ibu…” Rania terdiam lagi dan terlihat seperti meneguhkan hatinya untuk bisa melanjutkan ucapannya
“…Nia bersyukur karena Nia juga bisa jatuh cinta pada pilihan ibu lima tahun lalu.”
Bri terpana. Aku juga. Syifa tampak kebingungan menatap ke ibunya dan Rania.
“Alhamdulillah…” ucap syukur Bri saat memeluk Rania.
“Alhamdulillah…” ucap Rania untuk semua kebaikan yang dialaminya di hari itu. Aku terharu. Aku berharap bisa menangis bersama ibu dan anak itu. Mensyukuri lahirnya keimanan baru yang merengkuh kehidupan baru Rania. Merubah segalanya jadi
indah pada akhirnya. Tapi lagi-lagi aku hanya bisa diam.
“Kak Rania..” Suara mungil Syifa terdengar lembut. Bri dan Rania melepas pelukannya dan
beralih melihat Syifa.
“Boneka beruangnya lucu. Namanya siapa? Buat Syifa ya?”
Aku beralih menatap Rania. Ia tersenyum mengangguk dan kemudian berkata dengan senyum penuh di wajahnya. Membuatku tak kuasa menahan senyumku juga..
“Namanya Dai… Dan kamu bisa memilikinya. Dai adalah sahabat yang sangat baik. Mama Britani yang kasih Dai buat kakak..”
Aku tersenyum.. Kubagi pula senyuman itu untuk ketiga orang perempuan di
hadapanku. Perlahan Rania melepas pegangan tangannya dariku dan tiba-tiba saja aku sudah ada dalam pelukan tangan mungil Syifa.
Saat itu,, kurasakan bahagia yang tak ada kiranya. Dan aku tahu pasti, ini semua disebabkan oleh satu hal.
Cinta Keluarga.
^_^…
>>>sedikit quote tambahan dariku : mom’s love always around u. (senyum lagi ah…)^_^.
Post a Comment for "Cerita Cinta | Rania"